Friday, September 12, 2008

50.000 Murtad dalam 2 tahun

Mengapa Jurnal TANWIR PSAP Muhammadiyah mempromosikan pluralisme?

Koran “BERITA HARIAN” edisi 15 Juni 2004, yang terbit di Kuala Lumpur, memuat berita kecil yang menarik, berjudul “50.000 murtad sejak TV Satelit Dilancar”. Berita itu merupakan kutipan dari satu agensi berita asing yang menceritakan, bahwa dalam dua tahun, sejak stasiun TV Satelit dilancarkan ke Iran tahun 2002, sebanyak 50.000 orang telah memeluk agama Kristen.

Cerita tentang hal itu juga bisa dibaca di website www.christiannewstoday.com Lepas dari benar atau tidaknya berita yang disebarkan para misionaris Kristen itu, isi berita itu sendiri perlu dicermati, karena menunjukkan, bagaimana kegigihan misi Kristen di dunia Islam masih terus berjalan, dalam berbagai bentuknya. Ada yang secara halus dengan menggunakan cara-cara merusak aqidah umat Islam, menyebarkan sekularisme dan liberalisme, ada juga yang masih menggunakan cara-cara klasik seperti kelompok Pastor Hormoz, yang mengaku pernah memeluk Islam. Prestasi ini diklaim oleh Pastor Hormoz Shariat, merupakan sukses besar, sebab dalam kurun waktu tahun 1830-1979, para misionaris Kristen hanya berhasil mengkristenkan 3.000 orang dari 50 juta rakyat Iran.


50.000 Murtad dalam Dua TahunCerita tentang pemurtadan dan misi Kristen, oleh sebagian kalangan sering dianggap klise dan dianggap seolah-olah tidak ada. Tetapi, berita itu membuktikan, misi Kristen itu terus berjalan. Terutama pemurtadan di dunia Islam. Di mana saja. Termasuk di Indonesia. Inilah yang diingatkan Prof. Dr. Hamka dalam Tafsir al-Azhar, ketika beliau menjelaskan makna QS. al-Baqarah ayat 120: “Ayat ini telah memberikan pesan dan pedoman kepada kita, buat terus-menerus, sampai Hari Kiamat, bahwasanya di dalam dunia ini akan tetap terus ada perlombaan merebut pengaruh dan menanamkan kekuasaan agama.

Ayat ini telah memberi ingat kepada kita, bahwasanya tidaklah begitu penting, bagi orang Yahudi dan Nasrani meyahudikan atau menasranikan orang yang belum beragama, tetapi yang lebih penting ialah meyahudikan dan menasranikan pengikut Nabi Muhammad saw sendiri. Sebab, kalau Islam merata di seluruh dunia ini, pengaruh kedua agama itu akan hilang. Sebab, apabila akidah Islamiyah telah merata dan diinsafi, kedua agama itu akan ditelannya. Sebab pemeluk Islam berarti kembali kepada hakekat ajaran yang sejati dari Nabi Musa dan Nabi Isa. Niscaya pemeluk kedua golongan itu tidak akan senang, sebab agama yang mereka peluk itu telah mereka pandang sebagai golongan yang wajib dipertahankan. Dengan tidak usah mengkaji lagi benar atau tidak benar.”

KH. Bisri Musthafa, dari Rembang, mengingatkan dalam Kitab Tafsirnya yang berbahasa Jawa, AL-IBRIZ, ketika menjelaskan makna ayat tersebut: “Makanya, kita umat Islam, khususnya para pemimpin harus berhati-hati. Kita sudah diajar oleh Allah, bahwa pendirian orang-orang Yahudi dan Nasrani, juga golongan-golongan yang tidak senang kepada Islam, kita harus senantiasa waspada. Jangan sampai kita menuruti kemauan golongan yang bertujuan merobohkan agama Islam.” Karena itu, masalah aqidah Islamiyah, masalah Iman, dan masalah pemurtadan perlu senantiasa menjadi perhatian serius dari seluruh kaum Muslim, khususnya para ulama dan cendekiawannya.

Masalah ini lebih penting daripada masalah syari'at Islam atau masalah politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya. Sebab, aqidah adalah pondasi, landasan, pijakan dari seluruh bangunan Islam. Rasulullah SAW mengingatkan, dalam hadits beliau yang sangat terkenal: “Islam ditegakkan di atas lima hal: persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, penegakan shalat, penunaian zakat, pelaksanaan haji ke Baitullah, dan shaum Ramadhan.” (HR Bukhari dan Muslim). Jadi, pondasi pertama Islam adalah dua kalimat syahadat: Tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.

Siapa pun yang menolak pilar utama Islam ini, otomatis dia tidak mendukung tegaknya bangunan Islam. Kaum Yahudi dan Nasrani, bisa saja mencoba-coba untuk menyatakan, bahwa mereka juga mengakui Allah sebagai Tuhan. Bahkan, sejak tahun 1629, terjemahan Injil Matius sudah menggunakan kata ‘Allah’ untuk Tuhan mereka. Hingga sekarang, Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia, masih menggunakan kata ‘Allah’ untuk menyebut Tuhan-nya orang Kristen. Tentu saja, konsep ‘Allah’ kaum Kristen berbeda dengan konsep ‘Allah’ orang Islam. Sebagaimana halnya konsep ‘Allah’-nya orang Arab Jahiliyah juga berbeda dengan konsep ‘Allah’-nya kaum Muslim. Perbedaan konsep ini merupakan hal yang prinsip dan penting, bukan hal yang sepele, seperti anggapan sebagian orang. Dalam dunia manusia, hal semacam ini pun terjadi. Presiden Megawati Soekarnoputri adalah istri dari Taufik Kiemas. Tentu Taufik Kiemas tidak rela jika dikampanyekan dimana-mana bahwa Megawati adalah istri yang sah dari Hasyim Muzadi. Meskipun, pada hekaketnya, Megawati tetaplah Megawati dan tetap istrinya Taufik Kiemas.

Agama Islam, yang datang belakangan, memberikan koreksi keras terhadap kepercayaan kaum Kristen dan Jahiliyah Arab itu. Masalah pemberian sifat atau atribut yang tidak sepatutnya kepada Allah, atau menjadikan sekutu bagi-Nya, adalah tindakan kejahatan yang sangat serius dalam pandangan Allah SWT. Dalam surat Maryam ayat 89-91 disebutkan: “Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menyatakan bahwa Allah yang Maha Rahman mempunyai anak.” Jadi, pemberian atribut, bahwa Allah mempunyai anak, adalah satu kejahatan besar, sebagaimana disebutkan dalam al-Quranul Karim. Karena itu, seyogyanya, kaum Muslim sangat berhati-hati dalam masalah ini, agar tidak terjatuh ke dalam kemurkaan Allah.

Para ulama telah sangat berhati-hati, misalnya, agar dalam merayakan Hari Besar Agama, tidaklah perlu dicampuradukkan antara agama satu dengan agama yang lain. Bahkan Majelis Ulama Indonesia telah mengharamkan apa yang dinamakan dengan “Perayaan Natal Bersama”. Fatwa MUI itu belum pernah dicabut. Ironisnya, ada saja tokoh Islam yang jadi pejabat, yang justru senantiasa hadir dalam acara Perayaan Natal Bersama di JHCC dalam beberapa tahun belakangan ini. Seolah-olah, sudah menjadi satu keharusan, bahwa kalau mau menjadi pejabat tinggi, maka tidak dapat tidak, harus hadir dalam acara keagamaan seperti itu. Padahal, dalam setiap acara Perayaan Natal Bersama, senantiasa ditampilkan acara yang menunjukkan dan mempropagandakan Isa a.s. sebagai Tuhan Yesus, anak Allah. Kita tidak tahu, apakah setelah sang tokoh menjadi Presiden nanti, tradisi Perayaan Natal Bersama akan semakin dikembangkan? Mudah-mudahan tidak. Lebih parah lagi, sekarang dikembangkan paham yang menyamakan semua agama, yang dikenal sebagai ‘pluralisme agama’. Lucu dan ironisnya, sebagian tokoh, cendekiawan, dan organ dari organisasi Islam besar, seperti Muhammadiyah, juga ikut latah menyebarkan paham ini. Hal itu dapat kita lihat dari isi Jurnal TANWIR yang diterbitkan oleh Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah dan The Asia Foundation.

Jurnal ini beralamat di Kantor PP Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya No 62, Jakarta. Nama-nama yang tercantum sebagai Redaktur Ahli juga bukan orang sembarangan, seperti: Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, Prof. Dr. Din Syamsuddin, Prof. M Dawam Rahardjo, Prof. Dr. M. Amin Abdullah, dan sebagainya. Kita bisa menyimak isi edisi ke-2, Vol 1, Juli 2003, yang mengambil judul cover “Wajah Pluralis Islam Modernis”. Disebutkan, bahwa pandangan keagamaan bernuansa inklusif dan bahkan pluralis nampaknya telah dijadikan sebagai salah satu wacana pilihan kaum muda. Seorang aktivis Muhammadiyah, menulis ungkapan dalam jurnal itu sebagai berikut: “Perbedaan ‘jalan’ maupun cara dalam praktik ritual tidaklah menjadi sebab ditolak atau tercelanya seseorang melakukan ‘penghormatan’ total kepada apa yang diyakini. Perbedaan jalan dan cara merupakan kekayaan bahasa Tuhan yang memang tidak bisa secara pasti dipahami oleh bahasa-bahasa manusia… Memperhatikan hal ini, maka tidak perlu lagi mempersoalkan mengapa antara orang Islam, Kristen, Hindu, Budha dan lain sebagainya tampaknya ‘berbeda’ dalam ‘mencapai’ Tuhan.

Perbedaan ritual hanyalah perbedaan lahiriah yang bisa ditangkap oleh kasat mata, sedangkan hakikat ritual adalah ‘penghormatan’ atas apa yang dianggap suci, luhur, agung, dan sebagainya. Ritual-ritual hanyalah simbol manusia beragama karena mengikuti rangkaian sistematika tadi.” Juga ditulis dalam jurnal tadi: “Perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing agama pada dasarnya bersifat instrumental. Semenbtara di balik perbedaan itu, terkandung pesan dasar yang sama yakni, ketuhanan dan kemanusiaan, yang memungkinkan masing-masing agama dapat melakukan perjumpaan sejati.” Sebagai Muslim, kita patut bertanya kepada para penulis ungkapan tersebut, apakah mereka benar-benar mengkaji agama-agama yang ada dengan sungguh-sungguh.

Berapa banyak Kitab Suci yang sudah mereka baca? Dalam pandangan Islam, masalah ritual bukanlah hal yang sepele, dan perbedaan diantara agama-agama yang ada, bukan hanya perbedaan yang ‘tampaknya berbeda’, tetapi memang sungguh-sungguh berbeda. Bentuk ritual begitu penting, sehingga para ulama merumuskan kaedah, “Hukum asal ibadah adalah haram, sehingga ditemukan adanya dalil yang memerintahkannya.” Ritual dalam Islam sama sekali tidak mengandung unsur budaya atau campur tangan manusia. Ini berbeda dengan ritual agama-agama lain. Lihatlah, bagaimana beragamnya ritual dalam Kristen, dengan tata cara dan bahasa yang begitu beragam. Hari Natal, misalnya, jelas-jelas sebuah ritual yang merupakan kelanjutan tradisi paganisme di wilayah Romawi.

Orang Hindu di Malaysia merayakan dua Hari Besar, yaitu Deepavali dan Taipusam. Tetapi, orang Hindu di Indonesia merayakan Hari Besar Galungan dan Nyepi. Mestinya, kaum Muslim bersyukur dengan fenomena agamanya, yang masih begitu kokoh memelihara tradisi ritual sejak zaman Nabi Muhammad saw. Dengan begitu, kaum Muslim tidak ikut-ikutan terjebak ke dalam propaganda untuk meninggalkan dan membuang Islam, dengan slogan ‘pluralisme’. Untuk menyebarkan paham pluralisme, seorang aktivis Muhammadiyah menyarankan, agar dilakukan strategi “penyusupan wacana inklusivisme dan pluralisme” ke lembaga-lembaga Islam terbesar seperti NU dan Muhammadiyah. Dikatakan: “Ini penting, tidak saja karena lembaga ini memiliki konstituen terbesar di Tanah Air, tetapi juga karena lembaga ini memiliki ‘jaringan keumatan dan intelektual’ yang sangat luas sehingga menjadi langkah efektif untuk menyebarkan ajaran inklusivisme dan pluralisme menuju ke arah proses kesadaran umat yang inklusif dan pluralis.”

Mengapa Jurnal TANWIR PSAP Muhammadiyah mempromosikan pluralisme? Tentu ini hal yang aneh. Apakah sebab itu, maka lembaga asing seperti The Asia Foundation mau membiayainya? Apakah ini juga merupakan bagian dari “strategi penyusupan” di tubuh Muhammadiyah? Dalam seminar tentang Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1-2 Maret 2004, Dr. Anis Malik Toha memaparkan satu makalah tentang sejarah paham ini, terutama di lingkungan Gereja dan masyarakat Barat. Paham ini, memang dikembangkan dalam setting sosial-politik humanisme sekular Barat.

Paham ini sangat memusuhi satu sikap truth claim atau klaim atas kebenaran agamanya sendiri. Biasanya, mereka akan mengutip hasil Konsili Vatikan II, yang mempromosikan corak teologi baru, yang tidak lagi eksklusif. Padahal, Konsili Vatikan sendiri tetap memerintahkan dilakukannya proses Kristenisasi di seluruh dunia. Kita tentu patut bertanya, jika paham pluralisme ini berkembang, dan umat Islam tidak lagi meyakini Islam sebagai satu-satunya agama yang benar – sementara propaganda dan misi Kristen terus berjalan – apakah yang akan terjadi? Para penyeru paham ini di kalangan kaum Muslim mestinya menyadari hal itu. Jika ada diantara kalangan Kristen yang menganut atau menyebarkan paham kebenaran semua agama, tidaklah berarti kaum Muslim harus ikut-ikutan, sebab mereka memang mempunyai masalah yang pelik berkaitan dengan konsep Ketuhanan dan otentisitas teks Bible-nya. Jika mereka masuk ke lobang biawak, mengapa kaum Muslim harus ikut juga? Lagi pula, apa salahnya jika kaum Muslim meyakini kebenaran agamanya?

Bukankah itu merupakan hal yang wajar dan harus! Sebab, kenyataannya, Islam memang berbeda dengan Kristen, berbeda dengan Yahudi. Konsep Tuhan antara Islam dan Kristen jelas berbeda. Karena Tuhannya orang Islam tidak punya anak. Sebab itu, kita sungguh prihatin akan fenomena ini. Sementara misi Kristen terus berjalan dan proses penghancuran aqidah terus berlangsung melalui berbagai paham dan sarana, justru di kalangan organisasi Islam, muncul gerakan penghancuran aqidah Islam secara masal. Kaum misionaris Kristen dulu sadar benar, bahwa misi terberat mereka adalah ketika harus berhadapan dengan kaum Muslim. Mereka tahu letak kekuatan Islam, yaitu pada konsep tauhid-nya.

Jurnal ‘Misi Kristen’ The Modlem World, edisi Oktober 1946, memuat ungkapan J. Christy Wilson, seorang tokoh Misionaris Kristen, bahwa: “Evangelism for Mohammedans is probably the most difficult of all missionary tasks.” Tokoh misionaris Kristen, Samuel Zwemmer juga mengakui, bahwa kekuatan Islam adalah terletak dalam karakter Islam sebagai agama tauhid. “The chief factor in this problem, however, is the character of Islam itself as a theistic faith… The strength of Islam is in its tremendous and fanatical grasp on the one great truth – monotheism.” Untuk itulah, sangat bisa dipahami, jika salah satu upaya serius dari para misionaris Kristen di dunia Islam, adalah meruntuhkan fanatisme kaum Muslim terhadap Islam sebagai satu-satunya jalan kebenaran dan keselamatan. Maka, sangatlah aneh bin ajaib, jika upaya meruntuhkan keyakinan kaum Muslim itu justru di kemudian hari dilakukan oleh para tokoh Islam sendiri. Kita bisa bayangkan, andaikan Zwemmer masih hidup, ia akan tersenyum penuh kemenangan. Masalah iman dan pemurtadan adalah soal terpenting dalam kehidupan. Ini jauh lebih penting dari pesta pemilihan Presiden 2004.

Siapa pun Presiden yang terpilih nanti, kita wajib mengingatkan kepadanya, bahwa masalah iman adalah masalah terpenting, dan pemurtadan terhadap kaum Muslim adalah bahaya besar, bagi umat Islam, dan bagi bangsa Indonesia. Apa artinya bangsa ini yang mayoritasnya Muslim, jika keislaman mereka hanya tinggal nama saja? Wallahu a’lam. (KL, 17 Juni 2004/ Hidayatullah)

Tolong Berikan komentarnya dibawah ini

No comments: